Soal PPN 12% di 2025, Bank Dunia Titip Pesan untuk Prabowo

0 0
Read Time:3 Minute, 16 Second

Jakarta, TEROPONG BORNEO – World Bank atau Bank Dunia menyoroti rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Kebijakan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Kendati belum ada kesepakatan mengenai keberlanjutan kebijakan ini di pemerintahan presiden-wakil presiden terpilih kelak, namun Bank Dunia menilai kenaikan tarif pajak merupakan upaya mendorong reformasi dari sudut pandang rancangan kebijakan, tetapi hal ini perlu dibarengi dengan langkah-langkah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan. Jika tidak dilakukan, Bank Dunia menilai kebijakan ini tidak akan memberikan dampak signifikan.

“Dampak kenaikan tarif PPN akan terhambat oleh sempitnya basis pajak dan diperburuk oleh rendahnya kepatuhan. Reformasi yang dimulai melalui HPP pada tahun 2021 dapat dilengkapi dengan langkah-langkah jangka pendek dan menengah,” tulis Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024, dikutip Rabu (26/6/2024).

Untuk jangka pendek, Bank Dunia reformasi ini dapat dilengkapi dengan ambang batas pajak yang lebih rendah, penghapusan pengecualian pajak, dan perbaikan mekanisme audit untuk meningkatkan kepatuhan.

Kemudian, dalam jangka menengah, opsi untuk meningkatkan pengumpulan pajak dapat dilaksanakan melalui peningkatan akses dan ketersediaan data pihak ketiga untuk melacak dan memverifikasi pendapatan/pendapatan, serta upaya untuk memformalkan perekonomian.

“Penerimaan pajak yang lebih tinggi pada gilirannya dapat membiayai bantuan sosial untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin yang terkena dampak tarif PPN yang lebih tinggi,” ungkap Bank Dunia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan akan diserahkan kepada pemerintahan selanjutnya, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

“Mengenai PPN saya sudah sampaikan, sekali lagi saya menyerahkan kepada pemerintahan baru untuk memutuskannya,” ucapnya Sri Mulyani saat konferensi pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, Senin (24/6/2024).

Efisiensi Pemungutan Pajak

Lembaga internasional ini juga menilai penerimaan fiskal dari kenaikan tarif PPN bisa meningkat jika efisiensi pemungutan pajak bisa digenjot. Indonesia menghadapi tantangan efisiensi yang membatasi potensi kenaikan tarif pajak untuk menghasilkan tambahan pendapatan pajak.

Menurut Bank Dunia, rasio efisiensi PPN yang hanya sebesar 0,5324 adalah 0,17 poin di bawah rata-rata negara-negara tetangga. Sebagai catatan, rasio 1 menunjukkan sistem pemungutan pajak yang sangat efisien.

“Hal ini menunjukkan bahwa potensi pendapatan yang dapat dipungut dengan tarif yang berlaku saat ini hampir sama. dua kali lipat dari pemungutan pajak sebenarnya,” ungkap Bank Dunia.

Jika rasio C-collection membaik ke tingkat yang setara dengan negara-negara lain di kawasan, perkiraan menunjukkan bahwa keuntungan fiskal dari kenaikan tarif PPN dapat meningkat hingga 32%. Peningkatan ini di luar keuntungan saat ini.

Bank Dunia mengatakan kekurangan dari sisi penerimaan selama ini berasal dari desain kebijakan PPN dan rendahnya kepatuhan pajak. Bukti dari negara-negara lain menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN yang ditetapkan undang-undang mungkin hanya menghasilkan sedikit atau tidak ada tambahan pendapatan tambahan jika tantangan ketidakpatuhan terus berlanjut.

“Rendahnya efisiensi perpajakan disebabkan oleh sempitnya basis pajak dan rendahnya kepatuhan, sehingga mengakibatkan terbatasnya pemungutan pajak tambahan jika tarif dinaikkan,” tegas Bank Dunia dalam laporan IEP.

Rendahnya efisiensi pemungutan pajak dapat disebabkan oleh kebijakan perpajakan, kepatuhan perpajakan dan struktur perekonomian. Pertama, rancangan kebijakan pajak di Indonesia memiliki tarif yang rendah, ambang batas yang tinggi, dan banyak pengecualian, sehingga menghasilkan basis pajak yang sempit.

Kedua, kepatuhan pajak yang rendah karena tantangan penegakan hukum, prevalensi penghindaran pajak, dan rendahnya tingkat pajak. semangat pajak di kalangan pembayar pajak.

Ketiga, perekonomian ditandai dengan tingginya informalitas, yang mengecualikan banyak perusahaan dari sistem perpajakan. Selain itu, dangkalnya sektor keuangan membatasi akses perusahaan terhadap pembiayaan formal, yang menyebabkan perusahaan harus bergantung pada laba ditahan untuk membiayai operasi bisnis, sehingga mendorong penghindaran pajak.

“Sektor keuangan yang dangkal juga membatasi kemampuan otoritas pajak untuk memantau dan menegakkan, sehingga membatasi bukti dari sektor perbankan yang dapat digunakan untuk audit,” tulis Bank Dunia.

Penelitian menunjukkan bahwa memanfaatkan lembaga keuangan formal untuk simpanan dan modal kerja kredit membantu otoritas pajak untuk melacak pendapatan dan aset, sehingga meningkatkan pengumpulan pajak. [**]

By Admin-YD.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%